Perjalanan Berliku PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA) Ingin Bertransformasi Menjadi IPP Energi Bersih di Indonesia

TGRA berambisi menjadi IPP energi bersih sejak 2008, namun hingga kini belum ada proyek selesai. Begitu sulitkah?

PT. Terregra Asia Energy Tbk. (TGRA) adalah perusahaan yang bergerak di sektor ketenagalistrikan dan telah beroperasi sejak tahun 1995. Pada Agustus 2023 lalu disampaikan bahwa TGRA akan membangun 7 proyek pembangkit listrik tenaga hidro senilai Rp 12,38 triliun. Sebesar 70% pendanaan proyek akan berasal dari pinjaman bank. 30% sisanya dari dana investor.

Menurut Direktur Keuangan TGRA, Daniel Tagu Dedo, tahap awal pendanaan dari pinjaman bank dan investor telah berhasil diamankan. Tahap berikutnya Perusahaan akan menerbitkan obligasi hijau senilai Rp 500 miliar.

Dikatakan bahwa TGRA memiliki potensi 39 persen atau sebesar 510.8 megawatt hydropower electric dari target transisi energi di Indonesia Tahun 2030.

5 bulan berlalu, hingga artikel ini diterbitkan belum ada informasi terbaru terkait progress pendanaan itu.

TGRA sudah lama bermimpi untuk bertransformasi menjadi perusahaan penyedia tenaga listrik di Indonesia. Sudah sejak 2008 tepatnya. 15 tahun kemudian belum ada satu pembangkit pun selesai mereka bangun dan operasikan. Jalan mewujudkan impian begitu berliku rupanya.

Akankah kali ini TGRA berhasil merealisasikannya?

Perusahaan didirikan pada tahun 1995. Kegiatan usaha utamanya adalah menyediakan jasa konstruksi dan layanan operating & maintenance di bidang ketenagalistrikan.

Pada tahun 2008 TGRA menyatakan niatnya untuk memperluas bisnis ke penyedia energi terbarukan dengan menjadi Independent Power Producer (IPP). IPP adalah perusahaan swasta yang memiliki perjanjian jual beli listrik dengan PLN. Kegiatannya mulai dari mengembangkan, membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit listrik.

Menjadi IPP memberikan pendapatan berulang dalam jangka waktu yang lebih panjang dibandingkan hanya menjadi kontraktor konstruksi dan O&M jangka pendek. Jangka waktu kontrak IPP bisa hingga 30 tahun. Selama masa kontrak tersebut Perusahaan IPP akan mendapatkan pembayaran dari PLN sesuai dengan listrik yang mereka produksi.

Transformasi dari perusahaan kontraktor menjadi IPP akan menjadi tonggak penting bagi pertumbuhan pendapatan TGRA di masa depan jika proyek yang direncanakan berhasil dieksekusi.

Tanpa mengulur waktu, antara tahun 2009 dan 2010, TGRA mengumumkan penyelesaian studi kelayakan dan memperoleh izin prinsip untuk beberapa proyek pembangkit listrik tenaga air. Pada 2011, izin lokasi dan Perjanjian Jual Beli Listrik (PPA) untuk pembangkit listrik tenaga mini-hidro Raisan 1 & 2 berhasil diperoleh, masing-masing dengan kapasitas 7 MW.

Izin prinsip sangat penting untuk inisiasi proyek dan diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta pemerintah daerah. Izin lain yang diperlukan untuk proyek energi terbarukan meliputi izin lokasi dan izin hutan produksi terbatas (jika proyek berada di area hutan produksi terbatas).

Pada 2012-2013, TGRA mengumumkantelah berhasil mendapat izin lokasi dan PPA untuk pembangkit listrik tenaga mini-hidro Batang Toru 3 dengan kapasitas 10 MW. Selama periode ini, perusahaan juga menyelesaikan studi kelayakan untuk proyek pembangkit listriknya.

In summary, Dari 2009 hingga 2013, TGRA memperoleh PPA untuk tiga proyek mini-hidro: Raisan 1, Raisan 2, dan Batang Toru 3.

Penandatanganan PPA terjadi setelah proses panjang yang mencakup prakualifikasi, permintaan proposal, dan letter of intent dalam proses pengadaan IPP dengan PLN. Penting untuk dicatat bahwa penandatanganan PPA dilakukan sebelum financial closure, yang berarti pada tahap PPA, perusahaan mungkin belum mengamankan pendanaan yang diperlukan untuk melanjutkan ke tahap konstruksi.

Tantangan pendanaan inilah yang terus dialami TGRA. Bahkan setelah sepuluh tahun sejak penandatanganan PPA (2013 – 2023), belum ada satu pun pembangkit yang direncanakan akan dibangun mencapai tahap Commercial Operation Date (COD).

Pada 2017, TGRA melakukan aksi korporasi besar dengan mengganti nama dari PT Mitra Megatama Perkasa menjadi PT Terregra Asia Energy dan melakukan Penawaran Umum Perdana (IPO) di bursa efek Indonesia.

Dalam prospektus IPO, TGRA menyatakan bahwa sekitar 69,4% dari 95% dana IPO akan dialokasikan untuk membiayai sebagian kebutuhan EPC (Engineering Procurement Construction) proyek mini-hidro Raisan 1, Raisan 2, Batang Toru 3, dan satu lagi pembangkit mini-hidro baru yang belum disebut sebelumnya, yaitu Sisira dengan kapasitas 9.8 MW.

Total penawaran umum dari proses IPO adalah Rp 110 miliar. Dengan demikian, alokasi untuk EPC pembangkit mini-hidro keempat pembangkit tersebut adalah Rp 72 miliar.

Ketidakjelasan progress proyek IPP TGRA masih terus berlanjut meskipun Perusahaan telah melakukan IPO. Target COD proyek pembangkit listrik Terregra Asia Energy kembali bergeser.

Pada dokumen paparan publik tahun 2020 disampaikan bahwa target COD untuk mini-hidro Batang Toru 3 adalah 2021, Batang Toru 4 2022, Sisira 2021, Raisan 1 dan 2 pada 2023. Namun, hingga artikel ini dipublikasikan, keempat proyek ini belum memasuki tahap COD.

Selain 4 pembangit yang telah disebutkan sebelumnya, di dokumen yang sama TGRA mencantumkan proyek pembangkit lain yang mereka rencanakan beserta target COD-nya. Total ada 9 pembangkit hidro yang mereka rencanakan.

kappital8-com.preview-domain.com-Dokumen Paparan Publik 2020 TGRA
Dokumen Paparan Publik Tahun 2020

Satu tahun kemudian, yaitu di 2021 TGRA kembali mengubah target COD untuk semua proyek pembangkit listriknya menjadi 2025. Jumlah proyek yang akan dibangun juga dikurangi dari 9 menjadi 7, dengan total belanja modal dihitung ulang menjadi USD 871 juta (Sekitar Rp 12-an triliun kalau dirupiahkan, dengan nilai tukar Rp 14.000 per dolar). Angka perhitungan inilah yang sepertinya masih dipakai hingga 2023.

TGRA menjelaskan tantangan yang dihadapi perusahaan dalam mewujudkan impiannya itu tidaklah mudah. Mulai dari tingginya kebutuhan investasi, ketidakpastian harga akuisisi lahan, sulitnya mendapatkan pembiayaan bank, hingga proses perizinan yang panjang.

Meski demikian, seakan menemukan oase di tengah padang pasir, pada tahun 2022 TGRA mengumumkan telah melakukan penandatanganan kerja sama pembiayaan dengan Carbon Resilience PTE LTD dalam bentuk Development Loan Agreement.

Berdasarkan dokumen publik ekspose 2022, pendanaan dari Carbon Resilience akan digunakan untuk akuisisi lahan dan jaminan ke PLN. Mekanisme pendanaannya adalah sebesar 50% atau setara Rp 199 M berupa equity financing untuk 3 pembangkit, yaitu Sisira, Batang Toru 3 dan Batang Toru 4. Sisanya sebesar Rp 1.1 T berupa debt financing.

Pada pertengahan tahun 2022 proyek konstruksi Sisira dan Batang Toru 3 dikabarkan mulai dikerjakan. Batang Toru 4 menunggu penyelesaian pembebasan lahan.

Namun naas, pada 2023, Carbon Resilience mengajukan proposal restrukturisasi pinjaman, sehingga pendanaan untuk proyek dialihkan ke Raisan 1 dan Raisan 2.

Bagaimana nasib konstruksi 3 pembangkit sebelumnya? Kemungkinan besar progres konstruksinya akan mengalami penundaan lebih lanjut. Perusahaan tidak dapat menutupi kebutuhan pendanaan dari cadangan kas internal, mengingat posisi kas TGRA pada kuartal kedua 2023 hanya sebesar Rp 79 juta.

Bagaimana nasib kelanjutan pembangunan proyek prestisius TGRA? tentu sangat tergantung dengan kelanjutan pendanaan dari Carbon Resilience, penerbitan green bond, dan right issue yang dikabarkan akan dilakukan segera. Tanpa uang, proyek tidak bisa berjalan. Pun tanpa kepiawaian dalam eksekusi, permasalahan lapangan juga sulit teratasi. Semakin mundur dan lama eksekusi, maka kebutuhan pendanaan pun juga akan semakin besar.


Posted

in

by