Industri ritel fashion Indonesia mengalami perubahan besar dengan munculnya pemain baru yang berhasil mengalahkan dominasi lama.
Dunia ritel fashion di Indonesia sedang mengalami perubahan besar. Pemain lama yang dulu dominan mulai melemah, sementara pemain baru semakin kuat. Perubahan ini terjadi karena selera konsumen yang terus berkembang, transformasi digital, dan persaingan pasar yang semakin ketat.
Salah satu pemain baru yang terus mencetak pertumbuhan positif dalam enam tahun terakhir (kecuali tahun 2020 saat pandemi melanda) adalah PT MAP Aktif Adiperkasa Tbk (IDX: MAPA). MAPA mengelola dan mendistribusikan berbagai merek internasional di kategori olahraga, golf, dan gaya hidup aktif, seperti Nike, Adidas, Converse, Reebok, Skechers, dan banyak lainnya. MAPA memiliki banyak toko ritel di seluruh Indonesia dan menjadi pemain utama di pasar produk fashion olahraga.
Pada 2017, MAPA membukukan pendapatan sebesar Rp 5 triliun dengan laba bersih Rp 293 miliar. Pada 2023, angkanya melonjak menjadi Rp 13 triliun untuk pendapatan dan Rp 1,3 triliun untuk laba bersih. Artinya, dalam tujuh tahun terakhir, MAPA mencatat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) 14,63% untuk pendapatan dan 23,72% untuk laba bersih.
Performa MAPA yang gemilang dalam beberapa tahun terakhir telah melampaui dua pesaing utamanya, yaitu PT Matahari Department Store Tbk (IDX: LPPF) dan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (IDX: RALS). Dua raksasa ritel fashion ini dulunya mendominasi pasar, tetapi kini kinerja mereka terus menurun, tergerus oleh kehadiran pemain baru seperti MAPA.
Sebagai perbandingan, pada 2017, LPPF mencatatkan pendapatan Rp 10 triliun dengan laba bersih Rp 1,9 triliun. Namun, pada 2023, angka tersebut turun menjadi Rp 6,5 triliun untuk pendapatan dan Rp 675 miliar untuk laba bersih. Hal yang sama terjadi pada RALS. Pada 2017, pendapatan dan laba bersihnya masing-masing sebesar Rp 5,6 triliun dan Rp 507 miliar. Namun, pada 2023, angkanya menyusut menjadi Rp 2,7 triliun untuk pendapatan dan Rp 300 miliar untuk laba bersih.
Perbedaan utama antara model bisnis MAPA dengan LPPF dan RALS adalah jenis produk yang dijual. MAPA fokus pada merek-merek global seperti Nike, Reebok, dan Adidas, sementara LPPF dan RALS lebih banyak menjual produk private label dan merek independen dengan daya tarik branding yang lebih lemah. Perbedaan model bisnis ini menjadi sangat krusial di era digital. Dengan makin berkembangnya e-commerce, munculnya merek lokal inovatif yang kuat, dan pergeseran preferensi konsumen ke produk fashion internasional, dominasi LPPF dan RALS pun semakin tergerus.
E-commerce Merebut Pangsa Pasar LPPF dan RALS
Produk fashion yang dijual LPPF dan RALS kebanyakan adalah merek sendiri atau merek independen yang branding-nya tidak sekuat merek global. Produk serupa dengan harga lebih murah bisa dengan mudah ditemukan di platform e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia. Selain pilihan lebih banyak, belanja di e-commerce juga lebih hemat waktu dan biaya karena konsumen tidak perlu datang ke toko fisik.
Salah satu bukti tidak langsung dari pergeseran minat belanja fashion ke platform e-commerce bisa dilihat dari menurunnya tren pendapatan RALS dan LPPF dalam beberapa tahun terakhir, serta lonjakan belanja barang fashion di platform Tokopedia dan Shopee.
2023 | 2022 | 2021 | 2020 | 2019 | 2018 | 2017 | |
LPPF | 6.539 | 6.455 | 5.586 | 4.839 | 10.276 | 10.245 | 10.024 |
RALS | 2.744 | 2.997 | 2.593 | 2.528 | 5.596 | 5.740 | 5.623 |
Sementara pendapatan LPPF dan RALS terus mengalami penurunan, Menurut survei LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada 2021, Tokopedia mengalami lonjakan volume transaksi hingga 136%. Saat itu, Vice Chairman dan Co-Founder Tokopedia, Leontinus Alpha Edison, menyatakan bahwa kategori fashion dan kecantikan menjadi yang paling pesat pertumbuhannya seiring membaiknya kondisi pandemi.
Lebih Murah dan Lebih Banyak Pilihan
Sebenarnya, LPPF sudah memiliki platform belanja online sejak 2016, jauh sebelum pandemi Covid-19. Namun, platform ini tidak cukup kuat untuk bersaing dengan Shopee dan Tokopedia.
Perbedaan utama antara platform belanja online LPPF dan e-commerce besar seperti Shopee dan Tokopedia terletak pada variasi produk dan harga yang ditawarkan. E-commerce seperti Shopee dan Tokopedia memiliki lebih banyak pilihan produk dan harga yang lebih kompetitif dibandingkan toko online LPPF.
Shopee dan Tokopedia tidak perlu mengelola rantai pasokan karena mereka hanya menyediakan platform bagi para penjual. Sebaliknya, LPPF harus mencari lebih banyak pemasok dan mengelola stok barang jika ingin memperluas variasi produknya. Ini tentu saja akan menambah biaya operasional mereka secara signifikan.
Karena alasan tersebut, platform e-commerce LPPF tidak mampu mendorong penjualan secara signifikan pasca-pandemi. Kebanyakan konsumen lebih memilih berbelanja di Shopee dan Tokopedia yang menawarkan lebih banyak pilihan produk dengan harga lebih variatif.
Sebagai contoh, kaos polos di platform belanja online LPPF dijual mulai dari Rp 99.000 per buah.
Sementara itu, di Tokopedia, kaos polos bisa ditemukan dengan harga mulai dari Rp 16.900 hingga Rp 49.900 per buah.


Munculnya Merek Fashion Lokal Inovatif
Selain harus bersaing dengan merek global dan produk fashion murah di e-commerce, LPPF dan RALS kini juga menghadapi tekanan dari merek-merek fashion lokal yang semakin inovatif. Merek-merek kecil ini berhasil membangun branding yang kuat melalui media sosial dan menargetkan pasar-pasar niche tertentu.
Beberapa merek besar seperti Erigo, Buttonscarves, dan Major Minor telah berhasil menciptakan pasar loyalnya sendiri. Bahkan, merek seperti Peggy Hartanto dan Major Minor telah mendapat pengakuan internasional, memenangkan berbagai penghargaan bergengsi. Prestasi ini bukan hanya meningkatkan kredibilitas mereka tetapi juga menunjukkan potensi besar industri fashion Indonesia di kancah global.
Bangkitnya merek-merek fashion lokal inovatif ini menjadi bukti bahwa industri fashion Indonesia terus berkembang.