Jatuh Bangun 40 Tahun Petualangan Bisnis ADES: Dari Jualan Air Mineral Sampai Sukses Diversifikasi Bisnis FMCG

Kisah 40 Tahun perjalanan bisnis PT Akasha Wira International Tbk (ADES), kunci sukses finansial transformasi bisnis ADES serta valuasi.

Tahun 1985, PT Akasha Wira International Tbk (ADES) mulai bisnisnya dengan memproduksi air minum dalam kemasan. Sekarang, ADES tidak hanya menjual air minum, tapi juga sudah melebarkan sayap ke produk kecantikan dan makanan kemasan.

Pendapatan bersih ADES terus naik dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir (2018-2022), pendapatan bersihnya melonjak lebih dari enam kali lipat. Seiring dengan itu, harga saham ADES juga ikut melesat, dari sekitar 900 di akhir 2018 menjadi lebih dari 7000 di akhir 2022.

Awal Mula ADES

Tahun 1970-an dan 1980-an menjadi era awal munculnya air minum dalam kemasan di Indonesia. Sebelumnya, masyarakat Indonesia umumnya minum air yang direbus dari sumur atau keran di rumah. Jadi, konsep air minum yang diproduksi pabrik awalnya terasa asing. Seiring waktu, air minum dalam kemasan mulai diterima masyarakat. Pada 6 Maret 1985, Alfi Gunawan, anak seorang pengusaha, mendirikan perusahaan air minum dalam kemasan bernama PT Alfindo Putra Setia (yang kemudian berganti nama menjadi PT Ades Alfindo Putra Setia, lalu PT Ades Waters Indonesia Tbk, dan akhirnya PT Akasha Wira International Tbk dengan kode saham ADES). Perusahaan ini berkembang pesat dengan mendirikan pabrik di Bali, Sumatra, Sulawesi, dan Jakarta.

Untuk merebut pangsa pasar, PT Alfindo Putra Setia dengan merek Ades menawarkan harga yang 35% lebih murah dibandingkan merek-merek yang ada saat itu. Namun, mereka tetap menjaga kualitas produk dan layanannya dengan mengimpor mesin pengolahan air langsung dari Prancis dan Amerika Serikat, serta memastikan sistem distribusinya berjalan seefisien mungkin.

Perlu diketahui, pada era 1980-an, selain Aqua sebagai pelopor air minum dalam kemasan di Indonesia, banyak merek lain yang beredar di pasar, seperti Vit, Aquaria, Fontana, dan dua merek lain yang sempat bersengketa dengan Aqua karena kesamaan nama, yaitu Club Aqua dan Asian Aqua.

Kurang dari 10 tahun sejak berdiri, pada tahun 1993, PT Alfindo Putra Setia yang sudah berganti nama menjadi PT Ades Alfindo Putra Setia berhasil meraih pendapatan Rp 3,5 miliar dengan total penjualan mencapai Rp 34 miliar. Saat itu, mereka juga memiliki empat merek lain, yaitu Vica, Desca, Desta, dan Evian (di bawah lisensi brand dari Perancis). Pada tahun 1994, perusahaan ini melantai di bursa saham melalui IPO dan diperkirakan telah menguasai 10% pangsa pasar industri air minum dalam kemasan di Indonesia.

Kemitraan Strategis dengan Coca Cola: Keputusan Penting untuk Bertahan dan Tumbuh

Pada 15 Desember 2000, pemilik PT Ades Alfindo Putra Setia, yaitu PT Gunawanputra Sepakat (54,47%), PT Effendi Textindo (3,03%), PT Mandraputra Aditama (3,03%), dan sisanya dimiliki publik, memutuskan menjalin kemitraan strategis dengan The Coca Cola Company senilai USD 19,9 juta.

Kemitraan ini dilakukan dengan cara menyerahkan kepemilikan merek Ades, Vica, Desta, dan Desca, serta 10% saham PT Ades Alfindo Putra Setia kepada Coca Cola melalui Refreshment Product Services Inc.

Keputusan untuk menjual merek dan 10% saham tersebut bukan karena masalah operasional. Saat itu, PT Ades Alfindo Putra Setia mampu menjalankan bisnisnya, dibuktikan dengan penguasaan 10% pangsa pasar air minum dalam kemasan di Indonesia. Bahkan, merek Ades adalah hasil kreasi mereka sendiri, bukan melalui akuisisi.

Namun, alasan utama menjalin kemitraan ini adalah masalah keuangan. PT Ades menghadapi utang besar: USD 30 juta kepada International Finance Corporation dan USD 5 juta kepada ING Bank, yang segera jatuh tempo. Dalam enam bulan pertama tahun 2000, Ades mencatat kerugian Rp 52 miliar.

Perlu diingat, pada 1998 Indonesia dilanda krisis ekonomi berat. Nilai tukar rupiah terhadap dolar melonjak dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per USD. Untuk mendanai pertumbuhan, Ades menggunakan utang, yang kemudian membebani perusahaan.

Keputusan para pemegang saham ADES saat itu jelas tidak mudah. Namun, demi kelangsungan bisnis dan merek Ades, langkah berat harus diambil, termasuk melepaskan 10% saham dan merek Ades itu sendiri. Jika keputusan ini tidak diambil, ADES mungkin bangkrut, dan PT Akasha Wira International tidak akan ada hari ini. “The show must go on.”

Meski begitu, penjualan merek dan 10% saham ternyata belum cukup menutup utang perusahaan. Pada 2004, PT Ades melakukan rights issue untuk melunasi utang luar negeri ke UBS AG Singapore, Lygon, E-Tool, dan Alfi Gunawan. Sebelum rights issue, komposisi kepemilikan saham adalah: Gunawanputra Sepakat (13,43%), Refreshment Product Services Inc (10%), UBS AG (7,89%), PT Kim Eng Securities (13,57%), dan publik (55,11%). Pendapatan bersih PT Ades pada 2003 mencapai Rp 3,5 miliar, turun dari Rp 7,3 miliar di tahun sebelumnya.

Bersamaan dengan rights issue, Water Partners Bottling S.A. (joint venture Nestle dan Coca Cola) mengakuisisi 65% saham PT Ades, sehingga kepemilikan Alfi Gunawan di PT Ades hilang sepenuhnya. Perusahaan pun berganti nama menjadi PT Ades Waters Indonesia Tbk. Dengan masuknya Nestle melalui Water Partners Bottling S.A., PT Ades mulai memproduksi Nestle Pure Life untuk pasar Indonesia.

Setahun setelah rights issue, manajemen baru PT Ades Waters Indonesia yang dipimpin Coca Cola melaporkan kejanggalan laporan keuangan periode 2001-2003 ke US SEC (Securities and Exchange Commission). Kejanggalan itu berupa inflasi volume produksi hingga Rp 13 miliar (2001), Rp 45 miliar (2002), Rp 55 miliar (2003), dan Rp 2 miliar (semester I 2004). Penjualan yang sebenarnya disebut lebih rendah 10%, 30%, 32%, dan 3% dibanding laporan lama.

Namun, Ketua Bapepam saat itu, Herwidayatmo, menyatakan laporan Coca Cola kurang bukti. Bapepam bahkan memberi peringatan kepada manajemen baru Ades untuk lebih berhati-hati menyampaikan informasi.

Perubahan kepemilikan saham terus berlanjut. Pada Juni 2008, Nestle dan Coca Cola menjual saham mereka di Water Partners Bottling S.A. ke Sofos Pte. Ltd, milik Andy Pe Wong Yoon dari Singapura. Sofos menjadi pemegang saham pengendali ADES dan mengganti nama perusahaan menjadi PT Akasha Wira International Tbk pada 2009. Meski nama berubah, kode saham tetap ADES.

Walaupun Coca Cola tak lagi memegang saham ADES sejak 2008, ADES masih memproduksi air minum bermerek Ades hingga 2011. Namun, pada tahun itu Coca Cola menarik kembali hak produksi merek Ades dari PT Akasha Wira. Ini menandai berakhirnya hubungan antara PT Akasha dan merek Ades, yang selama ini menjadi inti bisnis perusahaan sejak berdiri.

Ekspansi Horizontal: Pemilik Baru, Era Baru

Pemilik dan pengendali baru ADES, Sofos Pte. Ltd, adalah perusahaan manajemen aset yang berbasis di Singapura. Berdasarkan informasi dari Pitchbook, perusahaan ini didirikan pada tahun 2008, bersamaan dengan akuisisi Water Partners Bottling dari Coca Cola dan Nestle oleh Sofos.

Dua tahun setelah akuisisi, pada tahun 2010, Sofos Pte. Ltd mengubah ADES, yang telah berganti nama menjadi PT Akasha Wira International Tbk, dari yang awalnya hanya memproduksi dan mendistribusikan air mineral kemasan menjadi perusahaan barang konsumen cepat saji (FMCG) dengan izin usaha yang mencakup air minum dalam kemasan, minuman ringan, produk roti dan kembang gula, mie dan produk sejenis, kosmetik termasuk pasta gigi, serta perdagangan besar (distributor utama, ekspor, dan impor).

Dengan memperluas lini bisnisnya secara horizontal seperti ini, PT Akasha Wira International Tbk dapat memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sebelumnya dimiliki di bidang distribusi, pemasaran, dan penjualan dari pengalaman memproduksi dan menjual air mineral kemasan. Perluasan ini menjadi semakin penting mengingat PT Akasha Wira tidak lagi memiliki merek produk konsumen yang dikenal (merek Ades telah dijual ke Coca Cola). Tanpa menambah portofolio merek, baik melalui kemitraan, akuisisi, atau membangun merek baru, perusahaan ini tidak akan mampu tumbuh secara berkelanjutan.

Setelah memperoleh izin usaha yang lebih luas, ADES memulai ekspansi dengan memasuki sektor kosmetik. ADES memilih untuk tidak membangun merek baru atau mengakuisisi merek yang sudah ada, melainkan menggunakan strategi kerja sama dengan merek-merek yang sudah ada melalui perjanjian lisensi untuk memproduksi, memasarkan, atau menjual produk mereka. Beberapa merek yang bekerja sama dengan ADES antara lain Marlene (hak eksklusif untuk memproduksi, memasarkan, dan menjual), Makarizo (menjual dan mendistribusikan produk di Indonesia), dan P&G (mendistribusikan produk Wella dan Clairol di Indonesia).

Sementara itu, untuk keberlanjutan bisnis air minum dalam kemasan, selain melanjutkan lisensi yang sudah ada dengan Coca Cola dan Nestle, ADES menciptakan mereknya sendiri dengan nama Vica Royal. Hingga kini, hanya Nestle dan Vica yang menjadi dua merek yang terus dilanjutkan oleh ADES seperti tercantum di situs resminya.

Pada tahun 2012, ADES berhasil mencatat penjualan bersih sebesar Rp 476 miliar, meningkat hampir 50% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 299 miliar. Untuk laba bersih, ADES mencatat Rp 83 miliar pada 2012, naik lebih dari tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp 25 miliar.

Dari total penjualan tahun 2012, Rp 280 miliar berasal dari segmen produk kosmetik, sementara sisanya dari segmen air minum dalam kemasan. Keputusan untuk diversifikasi ke segmen kosmetik ternyata memberikan pertumbuhan bisnis yang signifikan bagi ADES, bahkan melampaui bisnis air minum dalam kemasan.

Sepuluh tahun berlalu, pada tahun 2022, PT Akasha Wira (ADES) terus mengembangkan strategi untuk meningkatkan penjualan dengan fokus pada FMCG dan diversifikasi horizontal. Seperti yang disampaikan dalam laporan tahunan 2022, di sektor air minum dalam kemasan, ADES terus memproduksi dan mendistribusikan Nestle Pure Life serta merek mereka sendiri, Vica. Di segmen kosmetik, ADES masih memegang lisensi untuk merek Makarizo dan Marlene, namun P&G sudah tidak lagi menjadi bagian dari portofolio mereka. Pada tahun 2020, ADES juga menambahkan produk disinfektan dan hand sanitizer ke dalam segmen kosmetiknya.

Selain air minum dalam kemasan dan kosmetik, pada tahun 2022 ADES juga memperluas bisnisnya ke segmen makanan dan minuman (di luar air kemasan). Pada tahun 2015, ADES mulai memproduksi susu kedelai dengan mereknya sendiri, Pureal. Untuk segmen makanan, ADES bermitra untuk memproduksi dan menjual makanan kemasan khas Korea di bawah merek Mujigae (termasuk memproduksi dan menjual minuman susu rasa pisang dari merek tersebut) sejak tahun 2020.

Analisa Finansial dan Valuasi

Pada tahun 2012, ADES mencatat pendapatan sebesar Rp 476 miliar. Pada tahun 2022, pendapatan ADES telah mencapai Rp 1,290 miliar. Meskipun tidak selalu mencatat pertumbuhan positif setiap tahun, secara rata-rata, ADES berhasil mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan sebesar 12,81% per tahun.

Berbeda dengan pendapatan, laba bersih ADES mengalami pertumbuhan negatif sepanjang tahun 2013 – 2017 (kecuali tahun 2016). Meskipun terjadi pertumbuhan pada pendapatan (top-line) selama periode tersebut, peningkatan yang terus-menerus pada harga pokok penjualan (HPP) dan beban operasional membuat laba bersih (bottom-line) ADES tetap tertekan.

Pada tahun 2018, pola ini mulai berubah. Meskipun ADES mencatat pertumbuhan pendapatan negatif sebesar 1,25%, laba bersihnya justru tumbuh sebesar 38,48%. Hal ini disebabkan oleh penurunan beban operasional atau SG&A pada tahun tersebut.

Menariknya, pada tahun 2020, yang menandai awal pandemi COVID-19, ADES mencatat pertumbuhan pendapatan negatif sebesar 19,30%, tetapi secara bersamaan masih mengalami pertumbuhan laba bersih sebesar 61,93%. Peningkatan laba bersih ini disebabkan oleh penurunan yang signifikan pada HPP dan beban SG&A.

Titik Balik

Penurunan beban SG&A pada tahun 2020 juga menyebabkan turunnya proporsi beban operasional terhadap pendapatan, dari 34,60% pada tahun 2019 menjadi 24,70% pada tahun 2020. Penurunan ini terus berlanjut pada tahun 2021 dan 2022, yang pada akhirnya menghasilkan peningkatan signifikan pada margin laba bersih ADES. Pada tahun 2019, margin laba bersih ADES berada di angka 10,10%. Pada tahun 2020, meningkat menjadi 20,20%, lalu naik lagi menjadi 28,40% pada tahun 2021, dan akhirnya mencapai 28,30% pada tahun penuh 2022.

Selain itu, peningkatan margin laba bersih ADES pada tahun 2020 juga disebabkan oleh pertumbuhan penjualan dari segmen produk kosmetiknya. Hal ini terlihat dari angka pendapatan produk kosmetik ADES yang naik dari Rp262 miliar pada tahun 2019 menjadi Rp309 miliar pada tahun 2020. Menariknya, pada periode yang sama, pendapatan dari segmen makanan dan minuman justru mengalami penurunan. Tampaknya, segmen kosmetik memiliki margin keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan segmen makanan dan minuman.

Sejak tahun 2020, proporsi pendapatan dari segmen kosmetik ADES meningkat dari 34,31% pada tahun 2019 dan 38,38% pada tahun 2018 menjadi 46% pada tahun 2020, 49% pada tahun 2021, dan naik lagi menjadi 50% pada tahun 2022.

Keberhasilan ADES dalam meningkatkan pendapatan sambil menjaga biaya operasional tetap rendah menunjukkan bahwa perusahaan telah mencapai economies of scale dengan meningkatkan volume produksi tanpa peningkatan biaya pemasaran dan penjualan yang sebanding.

Bisa dikatakan bahwa tahun 2020 bukanlah tahun yang mudah. Selain itu, tahun-tahun berikutnya, 2021 dan 2022, juga ditandai dengan era commodity supercycle, yang menyebabkan kenaikan umum pada harga bahan baku. Namun, meskipun menghadapi tantangan ini, ADES berhasil menjaga profitabilitasnya dengan baik selama tahun-tahun tersebut. Pada tahun 2022, perusahaan mencatat tingkat Return on Equity (ROE) sebesar 27,34%, yang merupakan level tertinggi sejak tahun 2013 (pada tahun 2012, ROE ADES mencapai 39,87%).

EPS (Earnings per Share) ADES juga mengalami pertumbuhan signifikan sejak tahun 2020. Pada tahun 2022, EPS perusahaan mencapai 618, menjadi angka tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.

Seiring dengan peningkatan profitabilitas perusahaan sejak tahun 2020, harga saham ADES juga terus mengalami kenaikan, dari Rp 1.045 per saham pada awal Januari 2020 menjadi Rp 7.175 pada akhir 2022, mencerminkan kenaikan sebesar 586%.

Valuasi

Seiring dengan titik balik berupa peningkatan net profit margin dan EPS yang dimulai pada tahun 2020, nilai earnings yield ADES mulai mengalami kenaikan pada tahun tersebut. Pada 6 Januari 2020, earnings yield ADES berada di angka 10,39%, kemudian mencapai puncaknya di 19,13% pada 19 Maret 2020.

Dengan angka earnings yield yang begitu tinggi, pasar merespons dengan memulai tren kenaikan harga saham ADES. Pada tanggal 19 Maret 2020 harga saham nya berada di Rp 570. Pada 27 Desember 2022 meningkat menjadi Rp 7.125 per saham, membuat earning yield kembali turun ke 8.65%.

Untuk angka earnings yield di industri tempat ADES beroperasi, nilainya berada di 6,54%, sedangkan untuk sektor tempat ADES tergabung, berada di angka 5,91%. Per 22 Februari 2024, earnings yield ADES mencapai 6,66%, menunjukkan bahwa angka tersebut kini sejalan dengan rata-rata.

Pertanyaan mengenai apakah harga saham ADES akan terus meningkat di masa depan sangat bergantung pada fundamental perusahaan, terutama apakah ADES dapat secara berkelanjutan meningkatkan EPS-nya. Jika perusahaan berhasil meningkatkan EPS, earnings yield-nya akan naik secara alami. Secara historis, ketika hal ini terjadi, harga saham cenderung merespons hingga earnings yield-nya selaras dengan rata-rata industri atau sektor. Oleh karena itu, arah pergerakan harga saham ADES kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan untuk terus meningkatkan EPS dan menjaga kepercayaan investor terhadap potensi keuntungan di masa mendatang.

Mesin Pertumbuhan Berikutnya

Pada 10 Mei 2023, PT Akasha Wira International Tbk (ADES) menerbitkan dokumen terkait Feasibility Study Report for Business Development Plans yang telah dilakukan sejak 2023. Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa ADES berencana menambahkan beberapa produk baru ke portofolio bisnisnya, dengan total hingga 7 produk baru sekaligus.

Tiga dari empat produk tersebut adalah merek pihak ketiga, di mana peran ADES adalah mendistribusikan produk-produk ini kepada distributor. Ketiga produk pihak ketiga tersebut meliputi camilan, minyak goreng, dan jeli. Sementara itu, empat produk milik ADES sendiri—minuman herbal, selai, makanan beku, dan sereal—akan diproduksi di pabrik milik mereka.

Proyeksi pendapatan tambahan dari 7 produk ini pada tahun 2023 diperkirakan sebesar Rp 80 miliar, meningkat menjadi Rp 281 miliar pada tahun 2027, dengan rata-rata net profit margin sebesar 26,81%.

ADES menyatakan bahwa aktivitas bisnis baru ini akan dimulai secara bertahap sejak Juli 2023. Namun, per 19 Februari 2023, ADES belum mencantumkan informasi mengenai produk-produk baru ini di situs resmi mereka. Selain itu, belum ada perjanjian lisensi baru terkait produk pihak ketiga yang disebutkan dalam laporan keuangan Q3 2023, meskipun tidak semua produk pihak ketiga yang diproduksi dan didistribusikan oleh ADES memiliki perjanjian lisensi, seperti contoh produk Mujigae.

Oleh karena itu, para pemangku kepentingan harus menunggu informasi lebih lanjut dari ADES mengenai produk-produk baru ini, setidaknya hingga laporan tahunan dirilis atau konferensi pers yang dijanjikan oleh perusahaan, yang dimaksudkan sebagai salah satu strategi pemasaran produk-produk tersebut.

Referensi

  1. Euromoney Publications. Asiamoney Volume 5
  2. detikFinance. ADES akan Right Issue 73,720 Juta Saham
  3. Tempo Publishing. Sepak Terjang Pengelolaan Bisnis Perusahaan Air Mi neral Terkemuka.
  4. Nestle. Indonesia: Bottled water joint venture between Nestlé and Coca-Cola
  5. detikFinance. Manajemen Baru ADES Berikan Informasi Salah
  6. Katadata. Aqua dan Le Minerale Dua Merek Air Mineral Paling Banyak Dikonsumsi Warga Indonesia

Posted

in

by