Inisiatif Pengembangan Green Hidrogen di Indonesia

Perkembangan dan pemain awal industri green hidrogen di Indonesia

Inisiatif Green Hidrogen oleh PT PLN

Pada 16 Januari 2024, PT PLN (Persero) mengumumkan rencana untuk segera mengoperasikan stasiun pengisian hidrogen (HRS) pertama di Indonesia. Lokasinya di Senayan, Jakarta. Fasilitas ini dibangun oleh subholding PLN, yaitu PLN Indonesia Power, dan ditargetkan selesai pada Februari 2024.

Sebelumnya, pada 20 November 2023, PLN meresmikan 21 unit pabrik hidrogen hijau (GHP) di berbagai wilayah Indonesia. Pabrik-pabrik ini menghasilkan hidrogen dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di area pembangkit listrik yang sudah ada. Kapasitas produksi hidrogen yang dihasilkan bisa mencapai 199 ton per tahun.

Dari total produksi 199 ton hidrogen per tahun, sebanyak 75 ton digunakan untuk pendingin generator listrik. Sisanya, 124 ton, akan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, termasuk memasok hidrogen ke HRS yang akan segera beroperasi.

Dengan 21 unit GHP yang diresmikan, PLN kini memiliki pabrik hidrogen hijau terbanyak yang dimiliki oleh satu perusahaan atau negara di Asia Tenggara. Keunggulan ini memungkinkan PLN untuk memperdalam keahlian dan meningkatkan efisiensi produksi, sehingga bisa lebih kompetitif dibanding negara-negara tetangga.

Setelah mengembangkan GHP dan HRS, PLN berencana mengoperasikan pembangkit listrik berbasis fuel cell yang menggunakan hidrogen hijau sebagai bahan bakar. Selain itu, PLN juga akan membangun Hydrogen Center dan Hydrogen Gallery Room untuk pelatihan serta edukasi terkait hidrogen di Indonesia.

Pertamina Juga Mulai Produksi Hidrogen Hijau

Di luar PLN, PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), juga telah memulai proyek percontohan hidrogen hijau pada 9 September 2023. Proyek ini dilakukan di Ulubelu dan Lahendong, Indonesia.

Di Ulubelu, hidrogen hijau diproduksi langsung dari panas bumi dan rencananya akan digunakan untuk kebutuhan kilang minyak. Sementara itu, proyek di Lahendong masih dalam tahap studi bersama dengan perusahaan Jepang.

Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan bahwa produksi hidrogen hijau Pertamina awalnya akan difokuskan untuk ekspor, dengan kemungkinan pemanfaatan domestik di masa depan. Pertamina juga sudah bekerja sama dengan mitra strategis dari Belanda untuk mengembangkan tenaga angin sebagai bagian dari produksi hidrogen hijau.

Tantangan Green Hidrogen: Masalah Biaya

Hidrogen hijau diproduksi dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Namun, tantangannya adalah biaya produksi yang masih tinggi dan ketersediaan sumber daya energi terbarukan yang terbatas.

Sebagai perbandingan, hidrogen grey—yang dihasilkan dari gas alam (non-terbarukan)—memiliki biaya produksi sekitar 1 hingga 2 euro per kilogram. Sementara itu, biaya produksi hidrogen hijau bisa mencapai 3 hingga 8 euro per kilogram.

Demand Global dan Domestik

Permintaan global untuk hidrogen hijau diprediksi akan tumbuh secara moderat hingga 2030. Setelah itu, pertumbuhan akan lebih cepat, terutama setelah 2035, menurut riset PwC.

Untuk domestik, Menurut estimasi IESR 2022, Indonesia diperkirakan membutuhkan sekitar 4 juta ton hidrogen biru dan hijau pada 2025. Jumlah ini akan naik dua kali lipat pada 2030 dan mencapai 17 juta ton pada 2040.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan skala produksi yang lebih besar, biaya produksi hidrogen hijau diperkirakan akan semakin murah di masa depan.

Yudo Dwinanda Priaadi, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia punya potensi besar untuk menjadi pemasok hidrogen hijau dunia.

Menurut Hydrogen Business Desk, potensi energi terbarukan berskala besar di Indonesia diperkirakan mencapai 442 GW pada 2018. Angka ini cukup besar untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam industri hidrogen hijau global.

Menjadi Pemain Global: Faktor Biaya Jadi Kunci

Untuk menjadi pemasok hidrogen hijau dunia, faktor biaya produksi menjadi sangat penting. Negara-negara pengimpor pasti mencari harga yang kompetitif.

Menurut riset PwC, biaya produksi hidrogen hijau di Indonesia diperkirakan berada di kisaran 5 – 5,25 euro per kilogram pada 2030. Ini masih kompetitif di tingkat ASEAN, meskipun lebih tinggi dibanding China dan India. Kebijakan pemerintah dan strategi pengembangan energi masa depan akan sangat berpengaruh dalam menekan biaya produksi.

Cost-development of renewable hydrogen in 2030 based on PwC research

Pemerintah Siapkan Regulasi Khusus untuk Hidrogen

Terkait kebijakan pemerintah, Andriah Feby Misna, Direktur Energi Baru dan Terbarukan di Kementerian ESDM, mengungkapkan bahwa regulasi mengenai hidrogen sudah dimasukkan dalam undang-undang energi baru dan terbarukan. Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan aturan khusus terkait bisnis hidrogen sebagai bahan bakar di Indonesia.


Posted

in

by

Explore more: