Cottonindo Ariesta: Dari Ekspansi Global ke Kebangkrutan

Cottonindo Ariesta pernah berjaya. Dalam waktu lima tahun setelah IPO justru bangkrut dan meninggalkan utang Rp173 miliar.

Tepat setahun lalu, 16 Februari 2023, Cottonindo Ariesta Tbk (IDX: KPAS), produsen kapas dan pelopor kapas wajah modern di Indonesia, resmi dinyatakan bangkrut oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Keputusan ini diambil karena KPAS tak mampu membayar utang kepada para pemasoknya.

Dari laporan keuangan terakhir yang dipublikasikan, yaitu laporan keuangan Q3 2021, total kewajiban perusahaan mencapai Rp114 miliar, sementara aset lancarnya hanya Rp51 miliar. CEO Cottonindo Ariesta pun mengungkapkan bahwa perusahaan tak bisa lagi menjalankan operasionalnya karena kekurangan modal kerja dan sulit mendapatkan pendanaan tambahan. Akibatnya, besar kemungkinan bisnis ini akan tutup selamanya.

Kondisi Cottonindo Ariesta saat ini sangat kontras dengan kejayaannya di tahun 2006, ketika mereka mulai berekspansi ke pasar global lewat pameran dan mulai mengekspor ke berbagai negara seperti China, Taiwan, Arab Saudi, Rusia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Afrika Selatan, dan Australia. Bahkan pada 2018, mereka berhasil melakukan IPO untuk mendapatkan tambahan dana guna ekspansi bisnis.

Tapi bagaimana bisa perusahaan yang awalnya terlihat menjanjikan ini tiba-tiba bangkrut tak lama setelah IPO?

Awal Mula dan Perjalanan Bisnis

Cottonindo memulai produksi kapas wajah modern pertamanya pada 1995. Saat itu, kapas wajah modern sudah ada di pasar Indonesia, tapi semuanya masih impor. Cottonindo melihat peluang: mereka ingin menghadirkan produk dengan harga lebih terjangkau dibanding kapas impor, tapi tetap berkualitas.

Hingga 2020, selain kapas wajah, Cottonindo juga memproduksi kapas semi-jadi seperti kapas bleaching, spunlace, sliver, serta produk jadi seperti kapas gigi, gulungan kapas, kapas bola, dan cotton bud.

Pada 1996, setahun setelah pabrik pertama beroperasi, produk mereka sudah tersebar di Jawa dan Bali, dua pulau dengan populasi padat. Setelah berhasil bertahan dari krisis moneter 1997-1998 dan meraih penghargaan “Enterprise 50” pada 2001, Cottonindo mulai merambah pasar internasional pada 2006 dengan ekspor ke Thailand, Filipina, Myanmar, Taiwan, Jepang, Korea, Australia, dan lainnya.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan produksi, pada 2009, KPAS memindahkan pabriknya dari Bandung Barat ke Subang. Setelah itu, ekspansi terus berlanjut: pada 2012 mereka menambah mesin spunlace, 2013 meluncurkan produk cotton bud, dan 2015 memperkenalkan kapas kesehatan.

Tahun 2018, Cottonindo sukses IPO dan menggunakan dana tersebut untuk ekspansi, termasuk meningkatkan kapasitas mesin dan operasional. Tahun berikutnya, mereka meningkatkan kapasitas produksi kapas bleaching dan memperluas pasar ke Indonesia bagian timur.

Pertumbuhan yang Tak Berkelanjutan

Dari luar, perjalanan Cottonindo tampak menjanjikan. Tapi kalau melihat kondisi keuangan mereka, ceritanya lain.

Bisnis Cottonindo sebenarnya punya margin laba bersih yang tipis. Pada 2017, margin laba bersihnya hanya 3,57%. Angka ini turun menjadi 1,09% di 2018 dan 0,74% di 2019. Sebagian besar pendapatan perusahaan habis untuk membiayai harga pokok penjualan (COGS) dan biaya operasional, yang porsinya lebih dari 80% dari pendapatan.

Di luar itu, mereka juga punya beban keuangan yang terus meningkat. Pada 2016, rasio beban keuangan terhadap pendapatan KPAS masih 7,84%. Tapi dalam tiga tahun, angka ini naik menjadi 11,35% di 2017, 12,16% di 2018, dan 11,28% di 2019.

Menjelang IPO, utang bank KPAS naik drastis. Pada 2016, utang bank jangka pendeknya masih Rp7 miliar, tapi di 2017 melonjak ke Rp54 miliar. Utang jangka panjangnya juga naik dari Rp7 miliar menjadi Rp20 miliar. Padahal, posisi kas mereka di 2017 hanya Rp2,3 miliar, sementara laba bersih setahun penuh hanya Rp2,8 miliar.

Karena utang yang jatuh tempo besar sementara kas minim, Cottonindo harus gali lubang tutup lubang. Pada 2017, mereka melunasi utang Rp35 miliar ke Bank Mandiri, tapi di tahun yang sama, muncul utang baru Rp39 miliar ke Bank BNI.

Pada 2018, KPAS memutuskan IPO dengan dana yang sebagian besar digunakan untuk menebus tanah dan bangunan pabrik senilai Rp30 miliar yang sebelumnya diagunkan ke bank. Ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya sudah kesulitan melunasi utang sebelumnya.

Setahun setelah IPO, utang bank jangka pendek mereka memang turun dari Rp53 miliar ke Rp24 miliar, tapi utang jangka panjangnya justru naik dari Rp12 miliar ke Rp27 miliar. Dengan kas hanya Rp1,6 miliar dan laba bersih Rp500 juta, kondisi keuangan mereka tetap berat.

Pandemi Memperparah Keadaan

Dalam paparan publik 2021, Cottonindo mengakui bahwa dampak pandemi mulai terasa di Q3 2020. Produksi menurun karena pembatasan aktivitas, biaya tetap besar, piutang meningkat, dan persaingan makin ketat.

Akibatnya, keuangan KPAS makin buruk. Pada 2020, mereka rugi Rp4 miliar dengan kas hanya Rp656 juta. Utang jangka pendek ke bank Rp24 miliar, sementara utang dagang ke pemasok lain Rp8 miliar. Di Q3 2021, kas mereka tinggal Rp161 juta, sementara rugi bersih membengkak ke Rp29 miliar.

Berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan bisnis, mulai dari mencari pinjaman baru, menjual aset, hingga mencari pendanaan non-bank. Tapi semua itu tak cukup. Pada Q3 2021, mereka terpaksa menghentikan produksi karena kehabisan modal kerja. Akhirnya, pada 31 Juli 2022, Cottonindo memutuskan merumahkan seluruh karyawannya.

Jalan Buntu

Tak ada jalan keluar, para kreditur Cottonindo akhirnya menggugat mereka ke pengadilan untuk proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Namun, Cottonindo tak mampu mengajukan proposal penyelesaian. Akibatnya, pada 16 Januari 2023, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat resmi menyatakan mereka bangkrut.

Total kreditur yang terdaftar saat putusan bangkrut mencapai 60 pihak dengan total utang Rp173 miliar.

Pelajaran Berharga: Jadi yang Pertama Tak Cukup untuk Bertahan

Pelajaran dari kasus Cottonindo Ariesta? Selain pentingnya menjaga likuiditas, menjadi yang pertama di industri bukan jaminan sukses jangka panjang.

Pada 2020, Cottonindo mengakui bahwa persaingan makin ketat. Laporan keuangan Q3 2021 menyebut bahwa salah satu pelanggan terbesar mereka adalah PT Indomarco Prismatama, pemilik jaringan Indomaret. Kami mengecek produk cotton bud yang ada di Indomaret di Jakarta pada awal 2024, produsen-nya adalah PT Tarunakusuma Purinusa, bukan Cottonindo.

PT Tarunakusuma Purinusa adalah pemain lama yang sudah ada sejak 1986 dan juga mengekspor produknya ke luar negeri. Ini membuktikan bahwa produk Cottonindo bukan sesuatu yang unik—pesaing bisa dengan mudah meniru dan bersaing harga.

Sayangnya, Cottonindo tak bisa bertahan di persaingan ini. Beban utang yang besar akhirnya menghancurkan mereka, sementara pelanggan bisa dengan mudah beralih ke produsen lain.


Posted

in

by

Explore more: