Bagaimana ARKO Berhasil Membangun PLTM Cikopo 2: Dari Konstruksi, Pendanaan, hingga COD

PT Arkora Hydro sukses mengatasi tantangan pendanaan dan teknis dalam membangun PLTM Cikopo 2.

Membangun pembangkit listrik energi terbarukan dan menjadi Independent Power Producer (IPP) di Indonesia bukan perkara mudah. Prosesnya panjang dan bisa memakan waktu bertahun-tahun, mulai dari perencanaan hingga beroperasi secara komersial. Tidak sedikit proyek energi terbarukan yang akhirnya mangkrak tanpa kejelasan kapan akan selesai.

PT Arkora Hydro Tbk (IDX: ARKO) adalah salah satu perusahaan IPP yang berhasil menyelesaikan proyeknya. Mereka kini mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) Cikopo 2 dengan kapasitas total 2×3,7 MW (7,4 MW). Proyek ini butuh waktu lima tahun, dari penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA) pada 2012 hingga mulai beroperasi secara komersial (COD) pada 2017. Namun, hasilnya tidak mengecewakan—pada 2023, PLTM Cikopo 2 berhasil mencatatkan pendapatan sebesar Rp45 miliar.

Bagaimana ARKO bisa sukses membangun proyek ini? Bagaimana mereka mengatasi tantangan pendanaan yang sering menjadi hambatan utama dalam proyek energi terbarukan di Indonesia?

Awal Mula dan Perjalanan Proyek Cikopo 2

ARKO berdiri pada 2010 dengan fokus mengembangkan dan mengoperasikan PLTM berjenis run-of-river di Indonesia. PLTM seperti ini biasanya dibangun di daerah terpencil dengan ketersediaan sumber air yang mencukupi.

Dua tahun setelah didirikan, tepatnya pada 19 Juli 2012, ARKO berhasil mendapatkan PPA untuk proyek PLTM Cikopo 2. Ini menjadi proyek pembangkit listrik tenaga air pertama mereka.

Tanpa menunggu lama, ARKO langsung memulai pembangunan PLTM Cikopo 2 pada 2013. Empat tahun kemudian, pada 2017, pembangkit ini akhirnya mulai beroperasi secara komersial.

Kualitas Konstruksi dan Kontraktor

Untuk memastikan proyek berjalan lancar, ARKO menggunakan kontraktor dari grupnya sendiri, yaitu PT Arkora Indonesia, yang memang spesialis di proyek energi terbarukan. Selain itu, ARKO juga melibatkan PT Indokoei International, perusahaan konsultasi teknik yang merupakan hasil joint venture dengan Nippon Koei dari Jepang, untuk mengawasi pembangunan.

Keahlian ARKO dalam bidang teknik dan konstruksi tidak lepas dari pendirinya, Aldo Artoko. Sebelum mendirikan ARKO, Aldo bekerja di Parsons Brinckerhoff (PB) Sydney, perusahaan konsultan teknik asal AS. Ia terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur, termasuk Terowongan CBD Sydney, proyek kelistrikan Metro Sydney, hingga proyek pembangkit listrik tenaga gas.

Selain itu, Aldo berasal dari keluarga yang memiliki perusahaan konstruksi berskala menengah hingga besar. Perusahaan tersebut menangani proyek infrastruktur besar seperti jalan tol, bendungan serbaguna, pelabuhan, dan bandara di Indonesia. Latar belakang ini menjadi modal berharga bagi ARKO dalam menjalankan proyek-proyeknya.

Untuk komponen utama PLTM Cikopo 2, seperti turbin dan generator, ARKO menggunakan produk dari Wasserkraft Volk AG, produsen asal Jerman yang terkenal dengan efisiensi tinggi dan daya tahan lama. Sementara itu, komponen kelistrikan disuplai oleh Siemens Electric, perusahaan Jerman lain yang terkenal di bidang teknologi listrik.

Sumber Pendanaan

Saat pertama berdiri, ARKO hanya memiliki modal Rp1,5 miliar. Untuk menutupi kebutuhan dana proyek, ARKO melakukan refinancing dengan menandatangani perjanjian kredit senilai Rp100 miliar dengan Bank BCA pada 21 Juli 2016. Kredit ini memiliki tenor maksimal 7 tahun dengan bunga tahunan 10%.

Dua tahun setelah PLTM Cikopo 2 mulai beroperasi, tepatnya pada 10 Desember 2019, ARKO mendapatkan pinjaman Rp90 miliar dari PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). Pinjaman ini setara dengan 75% dari total biaya proyek. Dana tersebut digunakan untuk melunasi utang ARKO ke BCA yang sebelumnya dipakai untuk menyelesaikan pembangunan PLTM Cikopo 2.

PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) adalah perusahaan swasta di Indonesia yang berfokus pada pembiayaan proyek infrastruktur yang layak secara komersial. Dana IIF berasal dari pemegang sahamnya, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Sebagian dari utang ARKO ke IIF dilunasi menggunakan dana hasil penerbitan obligasi pada 2023. Hingga Juni 2023, sisa utang pokok yang masih harus dibayar sebesar Rp69,97 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp69,5 miliar dibayar menggunakan dana obligasi.

Pada 31 Desember 2023, ARKO mengumumkan bahwa mereka telah melunasi seluruh utangnya ke IIF sebesar Rp69 miliar menggunakan dana hasil penerbitan obligasi.

Dengan demikian, hingga akhir 2023, utang yang masih tersisa untuk proyek PLTM Cikopo 2 adalah Rp69,97 miliar, yang terdiri dari Rp69,5 miliar utang obligasi dan Rp467 juta utang tersisa ke IIF.

Perjanjian Jual Beli Listrik dengan PLN

Pada 19 Juli 2012, ARKO dan PT PLN menandatangani PPA untuk PLTM Cikopo 2 dengan kapasitas ketersediaan listrik rata-rata 39,49 juta kWh per tahun atau kapasitas faktor 70%. Perjanjian ini berlaku selama 15 tahun sejak COD. Pada 23 Oktober 2014, perjanjian ini diubah menjadi 47,4 juta kWh per tahun dengan kapasitas faktor 74,02%.

Pada 28 September 2016, perjanjian ini kembali diubah dengan menetapkan harga jual listrik Rp1.100 per kWh untuk tahun ke-1 hingga ke-8 setelah COD, dan Rp850 per kWh untuk tahun ke-9 hingga ke-15.

Produksi Listrik PLTM Cikopo 2

PLTM Cikopo 2 memiliki kapasitas produksi 7,4 MW dengan estimasi produksi tahunan 52.000 MWh. Estimasi ini dihitung berdasarkan volume dan tinggi air serta efisiensi pembangkit.

Pada 2023, produksi listrik PLTM Cikopo 2 mencapai 41.032 MWh, turun dibandingkan 2022 yang mencapai 53.679 MWh. Manajemen ARKO menjelaskan bahwa penurunan ini disebabkan oleh musim kemarau panjang di 2023.

Berikut produksi listrik PLTM Cikopo 2 dari 2020 hingga 2023:

2023202220212020
41.032 Mwh53.679 Mwh43.117 Mwh36.857 Mwh

Proyeksi Pendapatan di Masa Depan

Perjanjian jual beli listrik dengan PLN berlaku hingga 2031. Untuk periode 2017-2024, harga jual listrik adalah Rp1.100 per kWh. Mulai 2025 hingga 2031, harga turun menjadi Rp850 per kWh.

Total pendapatan ARKO dari PLTM Cikopo 2 pada 2020-2023 mencapai Rp191 miliar. Dengan asumsi produksi tetap di angka 41.032 MWh per tahun, maka pada 2024 ARKO diperkirakan akan mendapatkan pendapatan Rp45 miliar.

2023202220212020
Production (Mwh)41.03253.67943.11736.857
Power purchase price per kWh (IDR)1.1001.1001.1001.100
Revenue (IDR, billion)45594740

Untuk periode 2025-2031, dengan harga Rp850 per kWh, pendapatan ARKO dari PLTM Cikopo 2 diperkirakan mencapai Rp244 miliar (sekitar Rp34,8 miliar per tahun).


Posted

in

by

Explore more: