Ancaman Starlink bagi Bisnis TLKM, Nyata atau Tidak?

Ancaman terbesar bagi TLKM bukan pada bisnis VSAT, melainkan teknologi direct-to-cell Starlink.

Pada 4 April 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) mengumumkan bahwa Starlink sedang mengajukan izin operasional untuk menjadi penyedia layanan Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan Penyedia Layanan Internet (ISP) di Indonesia. Jika proses perizinan ini selesai, Starlink bisa langsung menawarkan layanan internet berbasis satelit kepada pengguna di Indonesia.

Saat berlangganan layanan internet satelit/VSAT, pelanggan akan menerima antena khusus dari penyedia layanan. Antena ini harus dipasang di area terbuka agar bisa terhubung dengan satelit penyedia. Teknologi ini biasanya digunakan di daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan kabel atau menara seluler.

Sebelum mengajukan izin baru ini, Starlink sebenarnya sudah beroperasi di Indonesia sejak 2022, tetapi hanya sebagai penyedia layanan backhaul untuk anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), yaitu PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat). Telkomsat menggunakan layanan backhaul Starlink untuk melayani pelanggan VSAT TLKM.

Backhaul bisa diibaratkan seperti jalan tol besar yang menghubungkan banyak jalan kecil. Pengguna internet awalnya melewati jalan kecil ini, lalu dialihkan ke jalan tol bersama banyak pengguna lainnya. Biasanya, penyedia layanan menyewa backhaul dari pihak lain jika kapasitas jaringan sendiri tidak mencukupi atau ingin memperluas jangkauan tanpa membangun infrastruktur baru.

Satelit yang digunakan Starlink termasuk kategori Low Earth Orbit (LEO), yang mengorbit pada ketinggian 500–1.200 km dari permukaan bumi. Sementara itu, satelit yang digunakan di Indonesia saat ini, seperti satelit Telkom-4 milik TLKM, adalah satelit Geostationary Earth Orbit (GEO) yang berada di ketinggian sekitar 36.000 km. Karena lebih dekat ke bumi, satelit LEO milik Starlink punya keunggulan dalam kecepatan transmisi data. Artinya, akses internet menggunakan VSAT Starlink akan lebih cepat dibandingkan dengan VSAT TLKM.

Teknologi Starlink mampu menyediakan layanan internet VSAT yang lebih baik dibandingkan pesaingnya, termasuk TLKM. Jika sebagian atau bahkan seluruh pelanggan VSAT TLKM beralih ke Starlink, apa dampaknya bagi bisnis TLKM? Berapa pendapatan yang bisa hilang jika skenario ini terjadi?

Kontribusi Pendapatan Bisnis VSAT terhadap Total Pendapatan TLKM

PT Telekomunikasi Indonesia (TLKM) menjalankan bisnis komunikasi satelit melalui anak usahanya, Telkomsat. Saat ini, Telkomsat mengoperasikan dua satelit aktif yang melayani berbagai sektor, mulai dari perusahaan, perkapalan, minyak & gas, hingga perkebunan. Dengan cakupan hingga negara-negara tetangga Indonesia, Telkomsat juga memiliki pelanggan di Malaysia, Myanmar, Timor Leste, India, dan Papua Nugini.

Pada 2017, Telkomsat mencatatkan pendapatan Rp 596 miliar, sementara pendapatan TLKM di tahun yang sama mencapai Rp 128 triliun. Artinya, kontribusi bisnis satelit terhadap total pendapatan TLKM hanya sekitar 0,5%.

Meskipun kontribusinya kecil, dalam publikasi berita Telkomsat tahun 2019, CEO Telkomsat menyebut bahwa kinerja keuangan perusahaan terus tumbuh dalam lima tahun terakhir. Pendapatan Telkomsat mengalami pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) sebesar 31,5%, sementara EBITDA tumbuh 58,2% dalam periode yang sama.

Telkomsat vs. Starlink dari Sisi Teknologi

Menurut Kementerian Kominfo, Starlink berencana menguji coba layanan internet ritel di kawasan IKN (ibu kota baru di Kalimantan) sebagai bagian dari proses perizinan di Indonesia.

Di situs resmi Starlink, belum ada informasi mengenai cakupan satelitnya di Indonesia. Namun, berdasarkan kerja sama backhaul yang sudah terjalin dengan Telkomsat, besar kemungkinan jaringan Starlink bisa menjangkau sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Jakarta.

Pernyataan Setiaji, Chief Digital Transformation Officer (DTO) Kementerian Kesehatan, pada 21 Desember 2023 juga mendukung hal ini. Ia menyebutkan bahwa puskesmas di daerah terpencil Aceh sudah menggunakan internet Starlink dengan kecepatan mencapai 10 Mbps.

Dari sisi performa, satelit LEO Starlink punya keunggulan dalam latensi, yaitu sekitar 50 ms, dibandingkan satelit GEO yang digunakan Telkomsat dengan latensi 500–600 ms. Bahkan, kecepatan download internet Starlink di Indonesia bisa mencapai 200 Mbps, berdasarkan spesifikasi produk kerja sama Telkomsat dan Starlink.

Di negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina, kecepatan download Starlink dilaporkan bisa lebih dari 150 Mbps, dengan kecepatan upload di atas 25 Mbps, dan latensi sekitar 25 ms.

Perbandingan Model Bisnis Telkomsat vs. Starlink

Di situs resminya, Starlink menawarkan paket internet untuk pengguna individu dengan harga Rp 750.000 per bulan, sementara harga antenanya Rp 7.800.000. Layanan ini tidak memiliki batasan kuota data. Untuk segmen bisnis, Starlink belum mengungkapkan harga langganannya.

Sementara itu, Telkomsat menyediakan internet satelit ritel melalui Mangoesky. Paket termurah Mangoesky adalah Rp 11.900.000 per antena, dengan tarif data mulai dari Rp 110.000 untuk 1GB hingga Rp 1.098.900 untuk 15GB.

Untuk paket internet tanpa batas kuota, Telkomsat punya layanan Mangospace. Paket termurahnya Rp 3.670.000 per bulan dengan alokasi Fair Usage Policy (FUP) 60GB. Jika dihitung per tahun, pelanggan harus membayar Rp 44.040.000, jauh lebih mahal dibandingkan produk internet tanpa batas dari Starlink.

Dari sisi pemasangan, antena Starlink dirancang agar bisa dipasang sendiri tanpa perlu tim teknis. Sementara itu, antena Mangoesky lebih besar dan memerlukan tim khusus untuk instalasi, dengan biaya tambahan untuk pemasangan dan kunjungan teknis.

Selain itu, Starlink menawarkan uji coba gratis selama 30 hari untuk segmen individu dan bisnis. Sebaliknya, Mangoesky tidak menyediakan uji coba gratis.

Kesimpulan

Layanan internet Starlink lebih unggul dari segi teknologi karena menggunakan satelit LEO yang menawarkan kecepatan lebih baik dibandingkan satelit GEO milik TLKM. Selain itu, layanan Starlink juga lebih terjangkau karena tidak ada batasan kuota data dan harga antenanya jauh lebih murah dibandingkan Telkomsat.

Namun, meskipun seandainya banyak pelanggan internet satelit Telkomsat beralih ke Starlink, dampaknya terhadap kinerja TLKM tidak akan terlalu besar. Hal ini karena bisnis satelit hanya menyumbang 0,5% dari total pendapatan TLKM pada 2017. Data terbaru tidak diperoleh karena TLKM tidak merinci pendapatan berdasarkan anak usahanya, sementara Telkomsat tidak mempublikasikan laporan keuangan.

Ancaman nyata bagi TLKM?

Pada 2 Januari 2024, Starlink meluncurkan enam satelit dengan teknologi direct-to-cell. Teknologi ini memungkinkan pengguna ponsel 4G/LTE untuk terhubung langsung ke satelit Starlink, menggantikan fungsi menara seluler untuk mengirim pesan, melakukan panggilan suara, dan bahkan menggunakan data.

Secara sederhana, ini berarti menara seluler bisa digantikan oleh satelit Starlink. Perusahaan telekomunikasi yang memanfaatkan teknologi ini bisa menjangkau lebih banyak pelanggan tanpa harus membangun menara baru.

Pada 8 Januari 2024, hanya enam hari setelah peluncuran, Starlink berhasil menguji pengiriman pesan teks menggunakan jaringan T-Mobile. Uji coba untuk panggilan suara dan data dijadwalkan berlangsung pada 2025.

Jika teknologi ini dikomersialkan di Indonesia, operator seluler bisa menggunakan layanan direct-to-cell Starlink untuk memperluas jangkauan mereka. Ini menjadi ancaman bagi TLKM, karena selama ini keunggulan utama TLKM melalui Telkomsel adalah jaringannya yang luas.

Jika operator lain bisa menggunakan teknologi Starlink untuk menyamai jangkauan Telkomsel, persaingan di industri telekomunikasi Indonesia akan memasuki babak baru.


Posted

in

by